Sejarah Desa

Desa Popaya Terbentuk Pada tahun 1846 atas Prakarsa dan Perjuangan Tokoh-tokoh Masyarakat,toko agama,Toko Adat dan toko Pemuda pada saat itu Ukuran Desa ± 8500 M² dengan Jumlah Penduduk pada waktu itu 135 Jiwa dan 40 Kepala Keluarga . Dengan adanya Perluasan Wilayah dan ketambahan Jumlah Penduduk yang makin Meningkat. Sehingga pada tahun 2003 telah mengadakan Pemekaran Desa yankni Desa Karya Baru, kemudian pada tahun 2008 dimekarkan lagi Menjadi Desa Huta Moputi setelah dimekarkan pada tahun 2008 jumlah Penduduk 2.138 Jiwa atau 462 KK dengan Jumlah Dusun 3 ( Tiga ) Dusun dan seluruh Penduduk Memeluk Agama Islam dari suku Gorontalo.  Sejarah Pemerintah Desa Popaya Karena Panjangnya rentang Perjalanan Kepemimpinan di Desa maka sejarah Pemerintahan Desa Popaya yang sampai pada penyusunan Laporan ini dapat di gambarkan dalam daftar di bawah ini : No Periode Nama Kepala Desa Keterangan 1 1940 – 1946 Bantdalo Taliki Almarhum 2 1946 – 1948 Dauda Haluta Almarhum 3 1949 – 1966 Datu Busura Almarhum 4 1966 – 1989 Abd. Rahman Abas Almarhum 5 1989 – 1990 Alex Paudi PLH/Almarhum 6 1990 - 2000 Syarifudin Ladiku Almarhum 7 2000 – 2006 Badarudin Rauf Masih Hidup 8 2006 – 2007 Syarifudin Mohamad PLH/Masih Hidup 9 2007 s/d 2013 Badarudin Rauf Masih Hidup 10 2014 s/d 2019 Karim Adam Masih Hidup 11 2020 s/d 2026 Anis Busura,S.Pd.I Menjabat Sekarang

SEJARAH DESA POPAYA

 

 Awalnya kita harus mengenal Raja Empat yang dekatnya dikenal dengan Uwililinga. Untuk mebahas Sejarah Uwililinga lebih dahulu harus mengenal anutan kepercayaan kedua suku yang erat kaitannya dengan Sejarah Uwililinga yaitu suku Gorontalo dan suku Tomini pada awal abad XV.

Anutan kepercayaan suku Gorontalo pada abad XV adalah Animisme bertuhan dengan gunung Tilongkabila dan gunung Longgibila ( Tuhan Suami Istri ). Sedangkan anutan kepercayaan suku tomini adalah ( Agama Islam ) yang sejak abad XIV dimasukkan dan disebarkan oleh mubaligh – mubaligh yang berasal dari ternate sewaktu kembali dari Aceh mempelajari akidah Islam, kesasar dalam perjalanan pulang ke Ternate, hnya terbawa oleh alam ke Tomini.

Untuk selanjutnya Sejarah terbentuknya Uwililinga dapat di ungkap sebagai berikut :

a.   Pada mulai sekitar tahun 1515, Peguasa Gorontalo adalah Raja Amayi pada saat itu Raja serta perangkatnya memperluas mengadakan perjalanan / pelayaran dengan tujuan hendak memperluas wilayah yang di kuasainya. Dibalik itu ada rahasia Tuhan (aqidah), dengan tak terduga perjalanan ini sampai tiba di wilayah kerajaan Ogomojolo (Tomini) yang mempunyai IX perangkat Raja – Raja sebagai berikut :

1.      Tamalate

2.      Lembo’o

3.      Siendeng

4.      Hulangato

5.      Siduan

6.      Sipayo

7.      Soginti

8.      Bunuyo

Sewaktu Raja Amayi bertamu kepada Raja Ogomojolo bertepatan sekali mata Raja Amayi bertemu pandang dengan mata Putri Raja Ogomojolo yang bernama Owutango, hingga tenggelam niatan Raja Amayi berganti dengan rasa cinta yang mendalam kepada Putri Owutango, dan langsung Raja Amayi membuka rahasia hatinya, mengadakan lamaran untuk dikawinkan dengan Putri Owutango oleh raja Ogomojolo lamaran Raja Amayi diterima dengan syarat – syarat sebagai berikut :

1.      Raja Amayi wajib masuk Islam;

2.      Seluruh rakyat Gorontalo harus menganut Agama Islam.

 

Oleh Raja Amayi persyaratan ini diterima dengan keyakinan penuh tas pribadinya, dan untuk masyarakat Gorontalo dimintakannya mubaligh – mubaligh dari Tomini untuk memberikan fatwa ajaran Islam di wilayah Gorontalo. Hal ini di perkenankan oleh raja Ogomojolo dan kemudian pesta pernikahan raja Amayi dengan Putri Owutango terus dilangsungkan. Sebagaiamana umumnya sesudah pernikahan dilangsungkan kedua belah pihak keluarga saling harga – mengahargai, hormat – menghoramati, apalagi hal ini antar kerajaan. Sewaktu Raja Amayi dengan permaisurinya putri Owutango akan berangkat kembali ke Gorontalo diiringi oleh IX perangkat kerajaan dengan segala perlengkapan kerajaan sampai tiba di Gorontalo tempat domisili pertama IX perangkat raja serta kerajaan di beri nama Hunto artinya Ilonthonga lo olongia walu, dengan membangun mesjid pertama diwilayah Gorontalo ditempat tersebut dan sampai saat ini namanya di abadikan dengan nama Mesjid Hunto, yang terletak di kelurahan Biawu Kecamatan Kota Selatan Kotamadya Gorontalo, yang sekarang pintu gerbangnya           di tulis “Sultan Amayi”.

b.       Waktu beralih terus sampai dengan tahun 1525 raja Amayi bersama permaisuri Owutango di anugerahi oleh Tuhan tiga anak seoarang putra dan dua orang putri yang masing – masing :

1.      Putra Matolodula

2.      Putri Yadihulawa

3.      Putri Telepuliyo

Rahasia suratan Tuhan memang tak terduga tiba – tiba raja Amayi dengan permaisuri putri Owutango terjadilah perceraian. Sehingga putrid Owutango mengajak masyarakatnya kembali pulang ke Tomini. Berbagai usaha Amayi untuk menghambat perjalanan mereka dengan memerintahkan perangkatnya untuk menurunkan ke – 8 bahtera milik kedelapan Raja dari Tomini akan tetapi hanya 4 buah bahtera yang sempat dirusak, yakni bahtera milik Siendeng , Tamalate, Lembo’o dan Hulangato sehaingga mereka tidak dapat berangkat lagi. Sedangkan bahtera milik Siduan, Sipayo, Soginti dan Bunuyo tidak sempat di rusak dan selamat sehingga berangkatlah mereka bersama putri Owutango dari Gorontalo.  

c.       Oleh karena keadaan alam pukulan ombak di Paguyaman maka ke IV bahtera ini terpaksa mencari perlindungan di pantai Paguyaman dan bertepatan sekali di tempat singgahan ini sementara berada raja Ternate bersama Babullah, dan dengan pertemuan ini berlaku pula rahasia suratan Tuhan yakni permaisuri menikah dengan Babullah dan terjadilah perpisahan perjalanan permaisuri dengan masyarakatnya, permaisuri sudah ikut suaminya ke Ternate dan ke IV bahtera meneruskan perjalanan ke alamat semula (Tomini).

d.      Tetapi kehendak Tuhan berbeda dengan hasyrat para hamba – hambanya ini kebetulan sudah berada di perairan Paguat ada halangan dari bajak laut oleh suku Minandau sehingga mendarat kembali ke pantai dan memasak makanan dari bahan sagu dengan sebutan Pumbulo, dan tempat ini dinamakan Upilomumbula dan dari kata ini oleh penjajah disebut Bumbulan.

Dan dari tempat ini masyarakat rantau mencari tempat yang aman ke darat yang jauhnya ± 8 km dari pantai ke udik sebelah utara dan berdomisili sampai dengan tahun 1697 sebab ke IV bahtera ini sudah rusak dan tempat ini diberinama Molopoga dan sekarang sudah menjadi wilayah Desa Karya Baru.

e.       Brikut sejenak menelusuri ruang lingkup Daerah Gorontalo sepeninggalan permaisuri bersama sebahagian masyarakatnya :

I.              Pergantian raja Amayi terjadi pada tahun 1550 dan yang naik tahta kerajaan adalah putranya sendiri Motolodula. 

II.           Dengan kedua raja muda ini seluruh anggota masyarakat di Islamkan dengan istilah Moduhu Momantho dan Mopolihulolimu : Pengertian bahasa ini :

1.      Moduhu semua babi piaraan dimusnahkan;

2.      Darahnya menjadi sumpahan haram sampai hari kiamat;

3.      Mandi lemon yakni mandi thaharah (bersuci).

III.        Timbul perebutan kekuasaan kelompok – kelompok masyarakat antaranya berdiri otonomisasi Limboto-Suwawa hingga terjadi perang lokal bunuh – membunh ditambah dengan serangan dari Ternate yang dipimpin oleh Sahabullah (Putera Babullah / Sahribullah) sebagai balasan dendam ibunya.

IV.        Pada abad ke XVI ini raja Gorontalo sudah dijabat oleh wanita yang bernama Moliye istri dari Eyato dan Eyato seorang yang bijaksana sehingga ia dapat mendamaikan Gorotalo dan Ternate, Gorontalo dengan Limboto dan Suwawa, sehingga untuk penghargaan yang biasanya Raja Moliye turun tahta dan di nobatkan raja Eyato sedang penguasa Limboto adalah raja Popa.

V.           Oleh kedua penguasa ini (Eyato dan Popa) timbul hasrat bersama ingin mengetahui jelas keberadaan dari ke IV raja bersama masyarakat apakah benar – benar sampai di tempat semula (Tomini), maka berangkatlah kedua penguasa ini bersama perangkatnya dengan sebuah bahtera menuju Tomini, tetapi sampai di ujung tanjung Molosipat masuk Tomini di dapati berita bahwa ke IV bahtera dari Siduan, Sipayo, Soginti dan Bunuyo sepanjang waktu tidak ada berita, sehingga bahtera ke dua penguasa ini balik kembali dan tempat ini di abadikan dengan nama Popa Eyato dan sekarang menjadi nama wilayah Popayato.

Sebab maksud – maksud untuk mencari berita keberadaan dari ke IV raja bersama masyarakatnya pada waktu itu belum terbuka wilayah Marisa hanyalah yang ditempati masyarakat Randangan dan Naimu dengan rajanya Hilala dan Limonu dengan hubungan lalu lintasnya sungai Randangan, maka bahtera kedua penguasa ini masuk sungai Randangan, tapi dipertengahan perjalanan sungai di halangi oleh sebatang pohon besar melintang diseberang sungai sehingga tiang layar bahtera ini tak bisa masuk,  perjalanan balik kembali dari tempat ini di abadikan Mohimbodulo Te’ya kemudian dengan julukan Yimbodu.

Setelah balik menyusuri pantai sampai tanjung Libuo, kebetulan ada beberapa orang yang sedang mencari ikan, maka oleh kedua penguasa ini bertanya kepada kedua orang ini kalau berasal dari mana maka jawabannya kami orang Sipayo, dengan penuh kegembiraan keduanya hal yang di cari sudah di temui maka bahtera ini di daratkan di tempat itu dengan istilah Pilopohuatiyo yang kemudian tempat itu di abadikan dengan istilah Pohuwato oleh penjajah di sebut Paguat.

Dengan pertemuan kedua penguasa Raja Popa dan Eyato dengan orang – orang Sipayo telah diadakan musyawarah bersama dan langsung menuju ke Molopoga untuk mengundang ke IV raja bersama perangkatnya untuk mengadakan pertemuan di tempat itu sedang raja Eyato menunggu di tempat bahtera.

Dengan kunjungan raja Popa ke Molopoga oleh masyarakat di berikan julukan Tipopa Eya yang kemudian menjadi nama Desa yakni Popaya.

Berdasarkan cerita di atas maka pada dasarnya Popaya bukan nama Buahan namun merupaka nama yang di ambil dari nama 2 raja yakni Popa dan Eyato yang mengambil tempat di perkampungan yang saat ini bernama Desa Popaya.

 

 

Kepala Desa Popaya

 

  ANIS BUSURA,S.Pd.I